Selasa, 20 Maret 2012

Perempuan Berdaya, Lombok Utara Sejahtera


Ibu Ripsah
Puluhan tahun hidup sebagai pendamping seorang aktivis lingkungan dan keswadayaan masyarakat, membuat perempuan paruh baya yang satu ini faham betul mengenai aktivitas pergerakan suaminya yang pada akhirnya mengispirasi dirinya sebagai pribadi untuk bisa berbuat banyak bagi diri dan lingkungannya. “Saya mengikuti perjalanan dan perjuangan Bapak (suami) dalam mengajak masyarakat untuk berswadaya dalam banyak hal, salah satunya ketika Bapak dan warga kami membangun pipa air yang berfungsi untuk mengalirkan air ke perdusunan yang tidak punya sumber mata air sendiri”.
Menurut perempuan cantik satu ini, berdasarkan pengalaman dan keberhasilan suaminya tercinta, - Ripsah, (yang saat ini juga terpilih sebagai kepala desa sokong) -, upaya menggerakkan warga untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri secara swadaya sebenarnya bukan hal yang mustahil, asalkan ada komitmen yang kuat dan kepemimpinan yang benar-benar bisa digugu dan ditiru. “Warga hanya butuh contoh dan figur yang bisa diteladani” ungkapnya. Karena itulah, setelah suaminya terpilih sebagai Kepala Desa Sokong periode tahun 2011-2017, ibu muda satu ini memilih untuk berinisiatif terjun langsung sampai ke tingkat dusun untuk bisa melihat kehidupan warganya secara langsung. Ada banyak hal yang ditemukannya ketika terjun dan berinteraksi secara langsung. “Ada banyak potensi yang bisa digali. Contohnya saja kaum perempuan didesa kami, sudah berfikir tentang konsep mandiri pangan. Ada banyak pelaku usaha kecil pangan yang tengah menggeliat dan mencari jaringan pemasaran sembari mensempurnakan produk mereka. Contoh saja, ada kelompok perempuan yang fokus mengolah batang pisang menjadi kerupuk dan tepung. Ada juga yang fokus menggarap jajanan rakyat tradisional yang sudah beberapa kali dipercaya dan pernah menjalin kerjasama dengan beberapa pihak.
Menurut ibu Ripsah, salah satu upaya yang bisa digagas oleh pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan adalah dengan meningkatkan kapasitas perempuan. “Suka tidak suka, perempuan adalah bagian penting dari pembangunan yang harus diperhatikan keberadaannya. Secara logika saja, jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki. Jika perempuan tidak diperhatikan dan tidak diberi ruang untuk meningkatkan kapasitas, maka jumlah Bagaimana bisa berkontribusi jika perempuan dibiarkan hanya sebagai pengekor kebijakan dan tdak dilibatkan dalam segala bentuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan” ungkapnya. Untuk menajwab tantangan diatas, salah satu inisiatif yang digagas oleh perempuan berjilbab ini dengan mendorong berbagai pelatihan yang dibutuhkan oleh perempuan didesanya, baik itu berupa pelatihan inke dan pelatihan jajanan khas tradisional.
Kedepannya, ibu ripsah, sedang mencoba untuk merancang sebuah pusat agro ekonomi didesanya yang bisa digunakan oleh perempuan sekitarnya untuk media bertukar pengetahuan tentang tanaman hias dan tanaman obat, sekaligus pusat pembelajaran ekonomi bagi perempuan. Lebih lanjut, ibu ripsah juga menenjelaskan pihaknya (dalam hal ini PKK Desa Sokong) tegah menjajaki kerjasama pengelolaan taman bacaan perempuan bersama club Baca perempuan KLU, sebagai sarana meningkatkan minat menjadi ibu yang cerdas.
Lebih lanjut ibu Ripsah mengaku jalannya untuk menggugah kesadaran perempuan sekitarnya untuk terlibat langsung dalam proses pembangunan tidaklah mudah. Ada saja segelintir pihak yang menanggapi kurang baik niat tulusnya. Ada yang beranggapan tindakannya hanya untuk mencari popularitas semata. “Tapi itu hanya segelintir orang saja. Namanya saja hidup didesa. Ini malah membuat saya semakin bersemangat untuk membuktikan yang sebenarnya. Saya yakin, Tuhan pasti membantu saya” imbuhnya seraya tersenyum. (Dha- Staff media publikasi Access Phase II KLU)

Senin, 19 Maret 2012

Saya Ingin Hidup Saya Berguna


Suhaerudin (KPM Desa sokong dan sekertaris Forum KPM Desa Tanjung)
Hidup yang tidak direfleksikan dan tidak bermanfaat bagi orang banyak, adalah hidup yang tidak layak untuk dilanjutkan.(Anonim)
Begitulah sebuah ungkapan yang sepertinya menginspirasi lelaki muda yang satu ini. Hidup mapan dan berkecukupan di ‘negeri orang’ tidak membuatnya lantas berpuas diri. Seperti ungkapan hujan emas di negara orang, hujan batu dinegeri sendiri, ia tetap lebih memilih untuk mengabdikan diri bagi tanah kelahiran tercinta.
Hidup selama 12 tahun sebagai bagian dari keluarga besar sebuah perusahaan tambang raksasa di Papua sana, PT. Freeport, membuat hidup lelaki yang dulunya seorang jurnalist ini merasakan ada kekosongan yang begitu ‘in deep’ dalam dirinya. “meskipun hidup saya berkecukupan secara materi saat itu, tetap ada rasa yang kurang dalam diri saya. Saya percaya bahwa hidup yang berguna adalah hidup yang bermanfaat bagi orang banyak, dan bekerja didunia pertambangan membuat saya merasa tidak punya ruang untuk mengabdikan diri pada kepentingan orang banyak. Saya merasa hanya menjadi robot kapitalisme”, ungkapnya. Akhirnya, setelah 12 tahun lamanya menjalani proses pencarian jati diri, ditahun 2005 suhaerudin memutuskan untuk kembali ke Lombok Utara dengan tekad mendedikasikan hidupnya seluas-luasnya untuk kepentingan orang banyak.
Bekal yang cukup berarti pernah terpilih sebagai Kaur Kampung ( desa ) Naena Muktipura, distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Propinsi Papua Barat, membuatnya memutuskan untuk kembali dan mengabdi didesa kelahirannya dengan caranya sendiri. Dan ketika datang kesempatan untuk mengabdi melalui jalur ‘khusus’ didesa melalui keran Kader pemberdayaan Desa, tidak dilewatkannya begitu saja.
Berkali—kali ditekankannya bahwa keputusan untuk mengabdikan diri sebagai KPM adalah murni keinginannya sendiri. “Tidak ada pihak manapun atau siapapun yang memaksa saya untuk menjadi KPM. Saya melihat ini sebagai sebuah peluang emas untuk betul-betul mengabdi. Terpilih sebagai salah satu agen perubahan didesa saya, tentu saja ini sebuah kebanggaan tersendiri dan kesempatan besar yang tak mungkin saya lepaskan” ungkapnya kepada tim media publikasi program Access Phase II KLU, di Sekertariat YLKMP, 6 Maret 2012 silam.
 “Jangan tanyakan pada bangsa apa yang bangsa ini berikan padamu, tapi tanyakan pada dirimu sendiri apa yang bisa kau sumbangkan untuk bangsa” prinsip yang diyakini oleh Suhaerudin. Dan baginya, “keswadayaan adalah harga mati!”
 Ia mengaku tidak menafikan tentang pentingnya materi bagi kehidupan manusia. “Tapi KPM kan bukan profesi. Bodoh sekali jika saya melepaskan pekerajaan di Mimika hanya untuk pulang mengejar uang ratusan ribu. Intinya bukan disitu. Ini bukan masalah uang. Saya percaya, jika mengabdi dengan tulus, rizki akan datang dengan sendirinya. Berbuat saja dulu terbaik yang kita bisa, Tuhan pasti sudah mengatur semua dengan baik. Dan rizki itu tidak hanya berbentuk uang bukan?!. Pengetahuan yang luas, jaringan informasi dan kemitraan dengan banyak pihak yang terbangun dengan baik, bukankah itu juga bentuk rizki lainnya  yang perlu disyukuri?!”.
“Ketika ada pihak luar datang menawarkan bantuan dan memberi kita wadah seluas-luasnya bagi kita untuk mengembangkan kapasitas diri,menjadikan diri kita berdaya dan memberi  kesempatan untuk bisa menjadi manusia seutuhnya yang tidak lagi menggantungkan hidup sepenuhnya pada pihak lain, apa pantas kita meminta bayaran?” tandasnya.
“Saya tidak munafik, uang itu sangat-sangat perlu. Tapi harusnya kita faham dulu, siapa yang mendapatkan manfaat disini” ungkapnya sambil tersenyum.
Di akhir pembicaraan, Suhaerudin menyatakan harapannya semoga program pemberdayaan warga, organisasi warga dan pemerintah desa yang diusung oleh program ini betul-betul terealisasi untuk mendorong kemandirian didesa. “Saya ingin hidup saya berguna. Dan saya yakin tergabung sebagai KPM didesa saya adalah salah satu jalan untuk mencapai tujuan hidup saya” tandasnya. ( Dha- Staff Media Publikasi Access Phase II KLU )

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More